Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Sabtu, 02 April 2016

Essay Apresiasi Prosa Fiksi: Pentingnya Ilmu dan Moral Kehidupan dalam Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari



Kama   : Asih Hayatunnisa
Kelas   : 3B Diksatrasia (2222121031)
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


Ronggeng Dukuh Paruk novel yang menjadi inspirasi film “Sang Penari” ini merupakan sebuah novel yang cukup menggugah para pembacanya. Novel yang menceritakan kisah seorang ronggeng yang lahir dari sebuah desa terpencil yaitu Dukuh Paruk, desa yang terjerat kemiskinan, desa yang terbelakang, dan desa yang layak disebut kumuh. Film “Sang Penari” yang skenarionya terinspirasi dari Ronggeng Dukuh Paruk ini agak sedikit berbeda dengan versi novelnya. Penulis dari novel ini yaitu Ahmad Tohari, dia adalah sastrawan Indonesia yang mendapatkan penghargaan-penghargaan atas karyanya yang digemari oleh banyak pembaca. Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel trilogi yang terdiri dari Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Wajar saja novel ini cukup tebal dengan 406 halaman , sebab terdiri dari tiga judul yang digabung menjadi satu novel.
Terdapat banyak aspek yang bisa dibahas dalam novel ini, mulai dari moral, sosial, ekonomi, pendidikan, kepercayaan
  1. Moral
Dalam Ronggeng Dukuh Paruk ini jelas menceritakan tentang seorang ronggeng di desa Dukuh Paruk, ronggeng adalah penari perempuan yang cantik yang menjadi dambaan oleh warga Dukuh Paruk terutama pria, tarian serta nyanyian yang dilakukan oleh seorang ronggeng mengandung  birahi, memancing syahwat pria karena gerakan tariannya juga suara nyanyiannya. Ronggeng adalah bisa dibilang nyawa desa Dukuh Paruk, sebab dengan adanya seorang ronggeng dalam desa tersebut seolah desa itu hidup, tidak mati. Srintil, nama dari ronggeng tersebut telah dirasuki indang ronggeng ketika ia berusia sebelas tahun, diketahuinya Srintil oleh warga Dukuh Paruk bahwa ia dimasuki oleh indang ronggeng, desa itu merasa kembali menemukan oasis di padang pasir yang tandus dikarenakan mereka yang telah kehilangan ronggeng belasan tahun yang lalu. Tugas seorang ronggeng adalah menghibur para penontonnya dengan tarian dan nyanyian yang mengandung birahi, pakaian yang dikenakan oleh seorang ronggeng sangat ketat dan kecil agar tubuh indahnya terlihat, gaya sanggul rambutnya tinggi agar tengkuk indahnya pun terlihat. Dan ronggeng boleh melayani pria mana saja asalkan pria tersebut mampu membayar tarif tinggi. Dapat dilihat dari semua yang telah dipaparkan, bahwa ronggeng adalah sosok yang tidak bermoral di jaman sekarang, baik dilihat dari hukum Negara maupun hukum agama. 

2.      Sosial
Kehidupan sosial di desa Dukuh Paruk dari segi kebersamaan dan rasa tolong menolongnya cukup tinggi, karena jumlah keluarga yang sedikit dalam desa kecil itu, memjadikan sosialisasi antarwarga cukup baik. Dukuh Paruk memiliki kamitua yaitu Sakarya, semua warga patuh terhadapnya. Dan ketika Dukuh Paruk dilanda kerusakan oleh jaman, warga saling bantu membantu, misalnya saja ketika nenek Rasus (tokoh pria yang mencintai Srintil dan dicintai Srintil) sedang sekarat dan Rasus sedang berada diluar kota karena tugas ketentaraannya, warga sillih berganti mengurus nenek Rasus tersebut hingga nenek Rasus mengalami sekaratnya.

3.      Ekonomi
Aspek ekonomi di Dukuh Paruk sangat jauh dari makmur, mereka sulit makan nasi karena tidak mampu untuk membelinya, terlebih lauk pauk yang layak mereka tidak mampu membeli. Warga Dukuh Paruk kebanyakan memakan singkong dan serangga. Kecuali keluarga Srintil dan dukun ronggengnya Srintil, ketika Srintil menjadi ronggeng tenar, mereka dapat makan layak, membangun rumah cukup layak, dan berpakaian yang layak pula. Hingga pasca tragedi 1965, keadaan Dukuh Paruk memburuk, rumah mereka raib, setelah itu mereka hanya berlindung dengan gubuk reot dan pangan seadanya.

4.      Kepercayaan
Dalam hal ini saya kurang mengerti sebenarnya warga Dukuh Paruk ini menganut ajaran apa, sebab mereka selalu patuh terhadap nenek moyangnya yaitu Ki Secamenggala pendiri desa Dukuh Paruk, mereka rajin membawakan sesajen ke makam Ki Secamenggala. Kemudian ronggeng diberikan susuk oleh dukun ronggeng agar terlihat lebih cantik dan lebih segalanya. Namun, di akhir cerita terdapat Rasus membisikkan kata “Laailaahaillallah” ke telinga neneknya ketika neneknya itu sekarat, lalu terdapat pula Rasus bersembahyang menggelar kain, dan terdapat Srintil puasa senin kamis. Di awal cerita saya kira warga Dukuh Paruk menganut agama Hindu atau Budha, namun di akhir cerita yang membuat saya bingung, apa mungkin mereka menganut agama Islam? Tetapi dalam ajaran Islam tidak ada istilah sesajen, terlebih melayani pria yang bukan muhrimnya dan menggunakan susuk. Entahlah…

5.                     Pendidikan Warga Dukuh Paruk adalah buta huruf, sebab di desa tersebut tidak ada sarana pendidikan. Dukuh Paruk merupakan desa terpencil yang terbelakang yang lokasinya di pertengahan pesawahan, sehingga kurang memungkinkan pemerintah menjangkau pendidikan ke Dukuh Paruk. Anak-anak Dukuh Paruk sehari-harinya hanya bermain dan membantu orang tuanya dalam mencari penghidupan, mereka menangkap jangkrik, menangkap undur-undur, mencabut singkong yang tidak lain untuk mengisi perutnya. Tokoh masyarakat dalam desa itupun tak ada yang bisa membaca, mereka semua buta huruf. Kecuali Rasus, Rasus dapat membaca dan menulis ketika bergabung dengan ketentaraan.

Kesan ketika membaca novel karya Ahmad Tohari ini pada mulanya saya kesal, kesal dengan kebiasaan warga Dukuh Paruk yang tidak senonoh, yang percaya akan hal-hal mistis seperti memberikan sesajen ke makam leluhurnya, percaya bahwa kehidupan mereka diatur oleh roh leluhurnya, mendorong sang ronggeng untuk melayani setiap pria yang menginginkannya dengan bayaran yang cukup mahal, saya kesal sekali. Mengapa ada orangtua (Sakarya dan istrinya) yang bisanya menjual cucunya sendiri (Srintil) untuk melakukan hal tersebut. Namun di akhir cerita saya cukup terbawa arus kesedihan ketika Dukuh Paruk mengalami kerusakan karena dituding kelompok komunis, padahal mereka tidak tahu apapun, membaca saja tidak bisa apalagi mengerti tentang komunis. Kagum terhadap sosok seorang tentara yaitu Rasus yang masih setia terhadap Srintil. Dan sedikit ngeri ketika Srintil akhirnya menjadi tidak waras karena cobaan hidup yang bertubi-tubi membebaninya.

Dari novel Ronggeng Dukuh Paruk ini terdapat pesan bagi pembaca yaitu, bahwa segala cobaan, kerusakan, serta keterbelakangan yang dialami oleh Dukuh Paruk tidak lain dan tidak bukan adalah ulah dari warga Dukuh Paruknya sendiri bukan dari pihak lain. Mereka mengalami tragedi 1965 yang merusak serta menghancurkan desa mereka karena ditipu oleh anggota komunis, itu karena mereka tidak mengenal huruf, tidak dapat membaca dan menulis, tidak mengerti akan hal yang berhubungan dengan politik. Jika mereka ingin belajar dan mencoba bisa serta ada keinginan untuk menuntut ilmu, kecil kemungkinan mereka terjerat penipuan politik. Namun merekanya sendiri yang terlalu nyaman dengan keadaan yang jauh dari kata makmur, tidak ada rasa terbesit untuk menuntut ilmu.

Dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Mujaadilah ayat 11: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. Ayat Al-Qur’an tersebut sudah jelas, bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya, begitupun sebaliknya orang yang dilingkupi dengan kebodohan akan rendah derajatnya, seperti gambaran warga Dukuh Paruk, mereka direndahkan karena ketidakberilmuannya itu, mereka sulit dalam menyambung hidup. Dalam agama Islam, menuntut ilmu adalah wajib, baik perempuan maupun laki-laki.

Jadi, kisah Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah pelajaran bagi kita, bahwa kebodohan akan menyulitkan segalanya, maka tuntulah ilmu setinggi mungkin agar dapat hidup makmur sejahtera.

Monday, November 04, 2013, 21:25:33

Tidak ada komentar:

Posting Komentar