Kama : Asih Hayatunnisa
Kelas : 3B Diksatrasia
(2222121031)
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Ronggeng Dukuh Paruk novel yang menjadi inspirasi film “Sang Penari” ini merupakan sebuah
novel yang cukup menggugah para pembacanya. Novel yang menceritakan kisah
seorang ronggeng yang lahir dari sebuah desa terpencil yaitu Dukuh Paruk, desa
yang terjerat kemiskinan, desa yang terbelakang, dan desa yang layak disebut
kumuh. Film “Sang Penari” yang skenarionya terinspirasi dari Ronggeng Dukuh Paruk ini agak sedikit
berbeda dengan versi novelnya. Penulis dari novel ini yaitu Ahmad Tohari, dia
adalah sastrawan Indonesia yang mendapatkan penghargaan-penghargaan atas
karyanya yang digemari oleh banyak pembaca. Ronggeng
Dukuh Paruk merupakan novel trilogi yang terdiri dari Catatan Buat Emak, Lintang
Kemukus Dini Hari, dan Jantera
Bianglala. Wajar saja novel ini cukup tebal dengan 406 halaman , sebab
terdiri dari tiga judul yang digabung menjadi satu novel.
Terdapat banyak aspek yang bisa dibahas dalam novel ini, mulai dari
moral, sosial, ekonomi, pendidikan, kepercayaan
- Moral
Dalam Ronggeng Dukuh Paruk ini
jelas menceritakan tentang seorang ronggeng di desa Dukuh Paruk, ronggeng
adalah penari perempuan yang cantik yang menjadi dambaan oleh warga Dukuh Paruk
terutama pria, tarian serta nyanyian yang dilakukan oleh seorang ronggeng
mengandung birahi, memancing syahwat
pria karena gerakan tariannya juga suara nyanyiannya. Ronggeng adalah bisa
dibilang nyawa desa Dukuh Paruk, sebab dengan adanya seorang ronggeng dalam
desa tersebut seolah desa itu hidup, tidak mati. Srintil, nama dari ronggeng
tersebut telah dirasuki indang ronggeng
ketika ia berusia sebelas tahun, diketahuinya Srintil oleh warga Dukuh Paruk
bahwa ia dimasuki oleh indang ronggeng,
desa itu merasa kembali menemukan oasis di padang pasir yang tandus dikarenakan
mereka yang telah kehilangan ronggeng belasan tahun yang lalu. Tugas seorang
ronggeng adalah menghibur para penontonnya dengan tarian dan nyanyian yang
mengandung birahi, pakaian yang dikenakan oleh seorang ronggeng sangat ketat
dan kecil agar tubuh indahnya terlihat, gaya sanggul rambutnya tinggi agar
tengkuk indahnya pun terlihat. Dan ronggeng boleh melayani pria mana saja
asalkan pria tersebut mampu membayar tarif tinggi. Dapat dilihat dari semua
yang telah dipaparkan, bahwa ronggeng adalah sosok yang tidak bermoral di jaman
sekarang, baik dilihat dari hukum Negara maupun hukum agama.
2. Sosial
Kehidupan sosial di desa Dukuh Paruk dari segi kebersamaan dan rasa
tolong menolongnya cukup tinggi, karena jumlah keluarga yang sedikit dalam desa
kecil itu, memjadikan sosialisasi antarwarga cukup baik. Dukuh Paruk memiliki
kamitua yaitu Sakarya, semua warga patuh terhadapnya. Dan ketika Dukuh Paruk
dilanda kerusakan oleh jaman, warga saling bantu membantu, misalnya saja ketika
nenek Rasus (tokoh pria yang mencintai Srintil dan dicintai Srintil) sedang
sekarat dan Rasus sedang berada diluar kota karena tugas ketentaraannya, warga
sillih berganti mengurus nenek Rasus tersebut hingga nenek Rasus mengalami
sekaratnya.
3. Ekonomi
Aspek ekonomi di Dukuh Paruk sangat jauh dari makmur, mereka sulit makan
nasi karena tidak mampu untuk membelinya, terlebih lauk pauk yang layak mereka
tidak mampu membeli. Warga Dukuh Paruk kebanyakan memakan singkong dan
serangga. Kecuali keluarga Srintil dan dukun ronggengnya Srintil, ketika
Srintil menjadi ronggeng tenar, mereka dapat makan layak, membangun rumah cukup
layak, dan berpakaian yang layak pula. Hingga pasca tragedi 1965, keadaan Dukuh
Paruk memburuk, rumah mereka raib, setelah itu mereka hanya berlindung dengan
gubuk reot dan pangan seadanya.
Dalam hal ini saya kurang mengerti sebenarnya warga Dukuh Paruk ini
menganut ajaran apa, sebab mereka selalu patuh terhadap nenek moyangnya yaitu
Ki Secamenggala pendiri desa Dukuh Paruk, mereka rajin membawakan sesajen ke
makam Ki Secamenggala. Kemudian ronggeng diberikan susuk oleh dukun ronggeng
agar terlihat lebih cantik dan lebih segalanya. Namun, di akhir cerita terdapat
Rasus membisikkan kata “Laailaahaillallah” ke telinga neneknya ketika neneknya
itu sekarat, lalu terdapat pula Rasus bersembahyang menggelar kain, dan
terdapat Srintil puasa senin kamis. Di awal cerita saya kira warga Dukuh Paruk
menganut agama Hindu atau Budha, namun di akhir cerita yang membuat saya
bingung, apa mungkin mereka menganut agama Islam? Tetapi dalam ajaran Islam
tidak ada istilah sesajen, terlebih melayani pria yang bukan muhrimnya dan
menggunakan susuk. Entahlah…
5. Pendidikan Warga Dukuh Paruk adalah buta huruf, sebab di desa tersebut tidak ada
sarana pendidikan. Dukuh Paruk merupakan desa terpencil yang terbelakang yang
lokasinya di pertengahan pesawahan, sehingga kurang memungkinkan pemerintah
menjangkau pendidikan ke Dukuh Paruk. Anak-anak Dukuh Paruk sehari-harinya
hanya bermain dan membantu orang tuanya dalam mencari penghidupan, mereka
menangkap jangkrik, menangkap undur-undur, mencabut singkong yang tidak lain
untuk mengisi perutnya. Tokoh masyarakat dalam desa itupun tak ada yang bisa
membaca, mereka semua buta huruf. Kecuali Rasus, Rasus dapat membaca dan
menulis ketika bergabung dengan ketentaraan.
Kesan
ketika membaca novel karya Ahmad Tohari ini pada mulanya saya kesal, kesal
dengan kebiasaan warga Dukuh Paruk yang tidak senonoh, yang percaya akan
hal-hal mistis seperti memberikan sesajen ke makam leluhurnya, percaya bahwa
kehidupan mereka diatur oleh roh leluhurnya, mendorong sang ronggeng untuk
melayani setiap pria yang menginginkannya dengan bayaran yang cukup mahal, saya
kesal sekali. Mengapa ada orangtua (Sakarya dan istrinya) yang bisanya menjual
cucunya sendiri (Srintil) untuk melakukan hal tersebut. Namun di akhir cerita
saya cukup terbawa arus kesedihan ketika Dukuh Paruk mengalami kerusakan karena
dituding kelompok komunis, padahal mereka tidak tahu apapun, membaca saja tidak
bisa apalagi mengerti tentang komunis. Kagum terhadap sosok seorang tentara
yaitu Rasus yang masih setia terhadap Srintil. Dan sedikit ngeri ketika Srintil
akhirnya menjadi tidak waras karena cobaan hidup yang bertubi-tubi
membebaninya.
Dari
novel Ronggeng Dukuh Paruk ini
terdapat pesan bagi pembaca yaitu, bahwa segala cobaan, kerusakan, serta
keterbelakangan yang dialami oleh Dukuh Paruk tidak lain dan tidak bukan adalah
ulah dari warga Dukuh Paruknya sendiri bukan dari pihak lain. Mereka mengalami
tragedi 1965 yang merusak serta menghancurkan desa mereka karena ditipu oleh
anggota komunis, itu karena mereka tidak mengenal huruf, tidak dapat membaca
dan menulis, tidak mengerti akan hal yang berhubungan dengan politik. Jika
mereka ingin belajar dan mencoba bisa serta ada keinginan untuk menuntut ilmu,
kecil kemungkinan mereka terjerat penipuan politik. Namun merekanya sendiri
yang terlalu nyaman dengan keadaan yang jauh dari kata makmur, tidak ada rasa
terbesit untuk menuntut ilmu.
Dijelaskan
dalam Al-Qur’an surat Al-Mujaadilah ayat 11: “Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat”. Ayat Al-Qur’an tersebut sudah jelas, bahwa orang
yang berilmu akan ditinggikan derajatnya, begitupun sebaliknya orang yang
dilingkupi dengan kebodohan akan rendah derajatnya, seperti gambaran warga
Dukuh Paruk, mereka direndahkan karena ketidakberilmuannya itu, mereka sulit
dalam menyambung hidup. Dalam agama Islam, menuntut ilmu adalah wajib, baik
perempuan maupun laki-laki.
Jadi,
kisah Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah pelajaran bagi kita, bahwa kebodohan akan
menyulitkan segalanya, maka tuntulah ilmu setinggi mungkin agar dapat hidup
makmur sejahtera.
Monday, November 04, 2013, 21:25:33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar