Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Sabtu, 02 April 2016

Essay Apresiasi Prosa Fiksi: Hikmah Dibalik Sekali Peristiwa Di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer



Nama   : Asih Hayatunnisa
Kelas   : 3B Diksatrasia
NIM    : 2222121031
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Ia adalah seorang militer pada masa kependudukan Jepang, dan selama karir militernya ia menulis cerpen dan buku. Hampir separuh hidupnya ia habiskan di dalam penjara. Penjara tak mengahalanginya sedikitpun untuk menulis. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar didalam penjara, tetapi hal tersebut tak membuatnya menyerah dalam menulis karya sastra.
Hasil menulisnya lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Dari hasil karya sastranya tersebut, Pramoedya Ananta Toer mendapatkan banyak penghargaan internasional. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan, salah satu karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan novel yang mengisahkan hiruk pikuk kehidupan masyarakat pada masa setelah kemerdekaan yang daerahnya belum terjamah oleh kemajuan jaman dan masih tersisa bekas-bekas penjajahan. Makasud bekas penjajahan disini yaitu di daerah Banten Selatan tersebut masih terdapat sistem kerja paksa, dimana pekerja yang merupakan warga miskin asli Banten Selatan hanya mendapatkan penghasilan tak seberapa, lalu harus membayar pajak yang cukup besar.
Isi serta watak para tokoh di dalam novel hasil karya Pramoedya ini menarik untuk dibahas, pembaca akan banyak mendapatkan makna kehidupan pada jaman dahulu yang penuh dengan kekerasan, dan pelajaran yang dapat diambil dalam menghadapi suatu peristiwa. Pembaca pada saat membaca novel ini akan terbawa emosi ketika tokoh yang jahat menindas tokoh yang lemah. Sedih, haru, bahagia akan terasa ketika membaca novel karya Pramoedya ini.
Tokoh utama dalam novel Sekali Peristiwa Di Banten Selatan ini, yaitu Ranta seorang yang hidupnya tidak berkecukupan, tinggal bersama istrinya yang bernama Ireng di sebuah rumah gubuk kecil yang beralaskan tanah. Ranta pernah memiliki seorang anak, tetapi anaknya meninggal karena ulah para oknum DI (Darul Islam). Darul Islam merupakan sekelompok orang yang selalu mengacaukan daerah di Banten Selatan tersebut.
Dalam novel ini pun terdapat tokoh antagonis, yaitu seorang juragan bernama Musa, ia adalah seorang yang cukup disegani oleh warga kampung tempat ia tinggal, termasuk Ranta. Juragan Musa disegani karena ia seorang yang berkecukupan dan jika keinginannya tidak dituruti maka ia bisa berbuat apa saja terhadap mangsanya. Ranta dan warga lainnya yang selalu tertindas oleh juragan Musa, menjuluki Musa sebagai binatang buas karena ia kuat dan memiliki segalanya. Binatang buas tersebut berbuat sesukanya terhadapa mangsanya, yang dimaksud mangsa disini yaitu Ranta dan warga miskin lainnya. Sosok Musa yang ingin selalu ingin terlihat bijaksana, sopan, tegas, dan berpakaian rapih, namun sebenarnya dibalik itu semua berlainan dengan penampilannya. Ranta dipaksa berbuat kriminal hanya untuk kepentingan Musa pribadi, dan resiko pun ditanggung oleh Ranta sendiri tanpa membawa nama juragan Musa. Sangat licik sekali watak Juragan Musa dalam novel ini.
Kemudian Ranta sudah habis kesabaran atas perlakuan juragan Musa terhadapnya yang semena-mena, ia melawan juragan Ranta dengan didukung oleh warga lainnya juga yang senasib dengan Ranta karena ditindas oleh juragan Musa. Kebenaran dialah yang menang, seperti yang Ranta ucapkan dalam kutipan ini “Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung. Dimana-mana sama saja. Dimana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga yang akhirnya menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak dating dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.”
Setelah Ranta dan warga miskin lainnya yang tertindas melakukan perlawanan terhadap juragan Musa untuk mendapatkan kebenaran, juragan Musa diketahui merupakan anggota Darul Islam, berkali-kali juragan Musa tak mengakui, berkali-kali pula bukti berdatngan bahwa juragan Musa merupakan anggota DI, dan lurah pun merupakan anggota Darul Islam pula yang selama ini bersekongkol dengan juragan Musa. Akhirnya kebenaran telah menang, Ranta sebagai penggerak perlawanan diangkat sebagai lurah, kemudian desa secara bertahap menjadi lebih maju dengat waktu yang cukup singkat, karena gotong royong serta kerja sama dari para warganya.
Jadi, banyak sekali pelajaran serta hikmah yang dapat diambil dari novel karya Pramoedya ini, diantaranya yaitu bahwa kebenaran dialah yang menang, tentu bagaimana kebenaran itu memperjuangkan untuk mendapatkan kemenangan. Kemudian, kebohongan akan terbongkar cepat atau lambat, serapi apapun kebohongan itu disembunyikan, bagaikan menyembunyikan bangkai yang semakin lama akan semakin tercium baunya. Pelajaran lain yang dapat diambil dalam novel ini, yaitu besarnya kesadaran bergotong royong dari masyarakat pada jaman dahulu di daerah terpencil. Dengan bergotong royong, segala pekerjaan menjadi mudah dan ringan, segala keperluan bersama terlaksana dengan mudah dan cepat. Berbeda dengan sekarang ini, jaman semakin maju, tingkat individualisme di masyarakat semakin meningkat, rasa kurang peduli terhadap sesama semakin tinggi. Lalu, dalam menghadapi permasalahan harus dihadapi dengan bersabar, dengan sabar akan ada jalan untuk menyelesaikan masalah, sedangkan jika menghadapi masalah dengan emosi, akan semakin mempersulit dan memperpanjang suatu masalah.

Sunday, September 22, 2013, 12:33:26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar