Nama : Asih Hayatunnisa
Kelas : 3B Diksatrasia
NIM : 2222121031
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa
Tengah, Indonesia. Ia adalah seorang militer pada masa kependudukan Jepang, dan
selama karir militernya ia menulis cerpen dan buku. Hampir separuh hidupnya ia
habiskan di dalam penjara. Penjara tak mengahalanginya sedikitpun untuk
menulis. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar didalam penjara, tetapi hal
tersebut tak membuatnya menyerah dalam menulis karya sastra.
Hasil menulisnya lebih dari 50 karya dan diterjemahkan
ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Dari hasil karya sastranya tersebut,
Pramoedya Ananta Toer mendapatkan banyak penghargaan internasional. Sampai
akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya
berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten
Selatan, salah satu karya Pramoedya Ananta Toer ini merupakan novel yang
mengisahkan hiruk pikuk kehidupan masyarakat pada masa setelah kemerdekaan yang
daerahnya belum terjamah oleh kemajuan jaman dan masih tersisa bekas-bekas
penjajahan. Makasud bekas penjajahan disini yaitu di daerah Banten Selatan
tersebut masih terdapat sistem kerja paksa, dimana pekerja yang merupakan warga
miskin asli Banten Selatan hanya mendapatkan penghasilan tak seberapa, lalu
harus membayar pajak yang cukup besar.
Isi serta watak para tokoh di dalam novel hasil karya
Pramoedya ini menarik untuk dibahas, pembaca akan banyak mendapatkan makna
kehidupan pada jaman dahulu yang penuh dengan kekerasan, dan pelajaran yang
dapat diambil dalam menghadapi suatu peristiwa. Pembaca pada saat membaca novel
ini akan terbawa emosi ketika tokoh yang jahat menindas tokoh yang lemah.
Sedih, haru, bahagia akan terasa ketika membaca novel karya Pramoedya ini.
Tokoh utama dalam novel Sekali Peristiwa Di Banten
Selatan ini, yaitu Ranta seorang yang hidupnya tidak berkecukupan, tinggal
bersama istrinya yang bernama Ireng di sebuah rumah gubuk kecil yang beralaskan
tanah. Ranta pernah memiliki seorang anak, tetapi anaknya meninggal karena ulah
para oknum DI (Darul Islam). Darul Islam merupakan sekelompok orang yang selalu
mengacaukan daerah di Banten Selatan tersebut.
Dalam novel ini pun terdapat tokoh antagonis, yaitu
seorang juragan bernama Musa, ia adalah seorang yang cukup disegani oleh warga
kampung tempat ia tinggal, termasuk Ranta. Juragan Musa disegani karena ia
seorang yang berkecukupan dan jika keinginannya tidak dituruti maka ia bisa
berbuat apa saja terhadap mangsanya. Ranta dan warga lainnya yang selalu
tertindas oleh juragan Musa, menjuluki Musa sebagai binatang buas karena ia
kuat dan memiliki segalanya. Binatang buas tersebut berbuat sesukanya terhadapa
mangsanya, yang dimaksud mangsa disini yaitu Ranta dan warga miskin lainnya.
Sosok Musa yang ingin selalu ingin terlihat bijaksana, sopan, tegas, dan
berpakaian rapih, namun sebenarnya dibalik itu semua berlainan dengan
penampilannya. Ranta dipaksa berbuat kriminal hanya untuk kepentingan Musa
pribadi, dan resiko pun ditanggung oleh Ranta sendiri tanpa membawa nama
juragan Musa. Sangat licik sekali watak Juragan Musa dalam novel ini.
Kemudian Ranta sudah habis kesabaran atas perlakuan
juragan Musa terhadapnya yang semena-mena, ia melawan juragan Ranta dengan
didukung oleh warga lainnya juga yang senasib dengan Ranta karena ditindas oleh
juragan Musa. Kebenaran dialah yang menang, seperti yang Ranta ucapkan dalam
kutipan ini “Kau belum banyak makan garam,
Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung.
Dimana-mana sama saja. Dimana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga yang
akhirnya menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak dating
dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar.”
Setelah Ranta dan warga miskin lainnya yang tertindas
melakukan perlawanan terhadap juragan Musa untuk mendapatkan kebenaran, juragan
Musa diketahui merupakan anggota Darul Islam, berkali-kali juragan Musa tak
mengakui, berkali-kali pula bukti berdatngan bahwa juragan Musa merupakan
anggota DI, dan lurah pun merupakan anggota Darul Islam pula yang selama ini
bersekongkol dengan juragan Musa. Akhirnya kebenaran telah menang, Ranta
sebagai penggerak perlawanan diangkat sebagai lurah, kemudian desa secara
bertahap menjadi lebih maju dengat waktu yang cukup singkat, karena gotong
royong serta kerja sama dari para warganya.
Jadi, banyak sekali pelajaran serta hikmah yang dapat
diambil dari novel karya Pramoedya ini, diantaranya yaitu bahwa kebenaran
dialah yang menang, tentu bagaimana kebenaran itu memperjuangkan untuk
mendapatkan kemenangan. Kemudian, kebohongan akan terbongkar cepat atau lambat,
serapi apapun kebohongan itu disembunyikan, bagaikan menyembunyikan bangkai yang
semakin lama akan semakin tercium baunya. Pelajaran lain yang dapat diambil
dalam novel ini, yaitu besarnya kesadaran bergotong royong dari masyarakat pada
jaman dahulu di daerah terpencil. Dengan bergotong royong, segala pekerjaan
menjadi mudah dan ringan, segala keperluan bersama terlaksana dengan mudah dan
cepat. Berbeda dengan sekarang ini, jaman semakin maju, tingkat individualisme
di masyarakat semakin meningkat, rasa kurang peduli terhadap sesama semakin
tinggi. Lalu, dalam menghadapi permasalahan harus dihadapi dengan bersabar,
dengan sabar akan ada jalan untuk menyelesaikan masalah, sedangkan jika
menghadapi masalah dengan emosi, akan semakin mempersulit dan memperpanjang
suatu masalah.
Sunday, September 22, 2013, 12:33:26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar